Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.
Proses pembuatan ulos batak.
Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.
Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut “itom”.
Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”. Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan.
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk “diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.
Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
Jenis Ulos
1. Ulos Jugia.
Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah besar.
2. Ulos Ragi Hidup.
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.
Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain.
Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
3. Ragi Hotang.
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.
4. Ulos Sadum.
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
5. Ulos Runjat.
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).
Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama (
6. Ulos Sibolang.
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe.
8. Ulos Mangiring.
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.
9. Bintang Maratur.
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan” (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif sama.
10. Sitoluntuho-Bolean.
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.
11. Uos Jungkit.
Ulos ini jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar atau pada waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari
12. Ulos Lobu-Lobu.
Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan diparmonang-monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos “giun hinarharan”. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.
Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.
Seperti telah diterangkan, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara adat batak, karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat batak tanpa membicarakan hiou, ois, obit godang atau uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.
Penerima Ulos
Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos “parompa” dahulu dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “marjabu” bagi kedua pengantin (saat ini desebut ulos “hela”).
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yattg diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos “saput”.
I. Ulos Saat Kelahiran.
Gelar ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan “si”, maka gelar yang diperoleh itu diperdapat dari anak sulung perempuan (ompung bao).
Bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).
Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah ulos yaitu ulos parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk sianak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-suri ganjang atau ulos sitoluntuho.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos bulang-bulang untuk ompungnya.
Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang mengandung harapan agar kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah dianya nanti besar dapat memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Disampaikan melalui umpama (pantun). Pihak hula-hula memberikan ulos dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya sekedar memberi ulos parompa boleh saja ulos mangiring.
II. Ulos Saat Perkawinan
Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos “si tot ni pansa” yaitu; 1. Ulos marjabu (untuk pengantin), 2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki, 3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah, 4. Ulos simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut “ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama (pantun) dalam suku Batak disebut “malo manapol ingkon mananggal”. Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli” dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah “ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tata cara pemberian.
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat.
Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk kepada umum dengan mengucapkan “h o r a s” tiga kali.
Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki atau yang mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian umpasa dan kata-kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya pemberian ini disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek).
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.
Tata cara urutan pemberian ulos adalah sebagai berikut; 1. Mula-mula yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan, 2. Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk tulang rorobot, 3. Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua pengantin perempuan yang disebut paidua (pamarai), 4. Kemudian disusul oleh oleh pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan, 5. Dan yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari paranak dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari paranak. Bahagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada tulang/paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut “tintin marangkup”.
III. Ulos Saat Kematian.
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.
Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut “parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.
Ulos “jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (martilaha martua).
Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak “tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan kemenakan (berenya).
Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.
Tata cara pemberiannya.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula mendengar khabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih untuk cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio). Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada waktu pagi (panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula membuka tujung dari yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak yang ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan penaburan beras diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.
Memberi ulos panggabei.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.
Yang Memberikan Ulos
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak hula-hulalah yang memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kalimbubu) atau mora. Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos dalam upacara adat.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan na tolu” (tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah : 1. Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot). 2. Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan). 3. Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah diluar tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan dalam bentuk kado dan lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan dari sipenerima ulos.
(Penulis adalah Wartawan, dan Ketua Nahdatul Ulama dan Sekretaris Majelis Ulama
Tautan :
Ulos Ragi Napitu
Ulos Produk Eksotik
Proses Pembuatan Ulos
Ulos Mesa
Sopo dohot Ulos
Perajin Ulos
Baliga Ditangan Pria
Ulos batau Untuk Sultan Jogya
Songket Batak Tandingi Songket Palembang
Tenun Ulos ATBM
ULOS, PARULOSAN, DOHOT RUHUTNA
Adong do hea palolo rapot di sada luat taringot tu ulos, didok goarna “Seminar Sehari Ulos Batak”. Adong ma sahalak sian napungu i mandok, ia mula ni hata ulos i ninna, ala ngalian do nauju i angka jolma, diuloshon ma, ninna oooo……! Laass. I ma didok mula ni ulos.
Nabinoto, molo laho modom nasida manang ngalian, gobar do dipangke nasida. Angka natua-tua didok marsigudal bolon, sitagundalna. Andorang so godang dope masuk abit sian tano sileban, nunga martonun abit nasida. Ima nanidokna “haen” Marragam do dibahen ragina (corak). Ragi mangiring, bolean, sitolu tuho, dohot angka na asing. Ditonun nasida pe i, molo gabe pahean siganup-ari do (haen), ndang marsisi, ndang marsirat, ndang majungkit, ndang dihotang-hotangi, jala ndang marrambu, ima asing ni haen dohot ulos.
Namasa sinuaeng on, nunga mansai torop mangalehon ulos dohot mangulosi di angka siulaon. Alai
Boi do bahenon sabe-sabena dohot tali-talina.
MANDAR HELA
Ia mandar hela nabinoto, dung pe hira-hira di taon 1980-an asa masa di Toba. Jala naginuruhon sian angka natua-tua, na ro do i sian Sipirok tu Silindung. Molo di Tapanuli Selatan digoari do i mandar sembahyang. Laho mangalehon i pe on do didok: “Rajin ma hamu marsembahyang.”
Bangko di halak hita naparpudi on, sai maringkat-ingkat do na di jolo, mangihut-ihut na di pudi, gabe sange ma dohot di Toba mangalehon mandar hela.
Jadi nunga godang nuaeng on holan ala na tarsosak, gabe i ma dipartangkanghon. Hape nunga gabe lipe sian ruhut ni siulaon dohot di hatongamonna.
Somalna, holan parhobas juhut do mamangke mandar asa sigap idaon manghobasi atik tung naung maribak salaoarna.
ULOS RAGI NAPITU
Naginoaranna ulos ragi napitu, ima:
a. Ulos tapoltua
b. Ulos panghopol
c. Ulos sampetua
d. Ulos sampuborna
e. Ulos sabinmaligas
f. Ulos hembangtua
g. Ulos nasoraburuk
1. ULOS TAPOLTUA
Dung sorang dakdanak dipasahat ompungna manang tulangna do ulos di tingki mangharoani manang martutuaek. I ma nanidokna sinuaeng on ulos parompa, ulos tapoltua do digoari angka ompu naparjolo. Tapol-tapol ni anak nabisuk, tapol-tapol ni boru namarroha.
2. ULOS PANGHOPOL
Molo laho borhat angka doli-doli dohot anakboru mangalului parsingkolaan natimbo manang mangalului ampapaga nalomak, laho ma ibana manopot huta ni tulangna songon napabotohon. Diulosi tulangna ma ibana tanda las ni roha ni tulangna. Ima naginoaranna ulos panghopol.
Molo adong dakdanak na sai marsahit-sahit diboan natorasna ma dakdanak i tu huta ni ompungna manang tulangna. Diulosi ompungna manang tulangna ma dakdanak i, digoari do ulos i ulos panghopol.
3. ULOS SAMPETUA
Ima ulos di tingki ulaon parunjuhon dipasahat natoras pangintubu tu boruna dohot tu helana patandahon naung hot helana i (sah) marsaripe. Molo pinadomu tu namasa saonari on didok ma i tarsongon ?akte perkawinan? mangihuthon adat Batak. Ido umbahen didok natua-tua, napinadomu ni ulos ndang jadi sirangon ni ulos.
4. ULOS SAMPUBORNA
Ulos sian amangtua ni namuli patandahon tanggung jawabna, na dos do tu pangintubu. Aut sura so mangolu be natoras pangintubu ni anak dohot boru, ingkon do pangolihonon manang pamulion ni amangtua manang amangudana do i.
5. ULOS SABINMALIGAS
Sabin dos do i dohot abit. Molo didok marsabin manghatai, dos do i marabit manghatai, unang adong hata na tarsubang. Ulos sabinmaligas ima ulos sian namboru ni namuli manang sian paribanna, patandahon ndang dos tohonan ni ulos sian hulahula, dohot sian namboru, dohot pariban.
6. ULOS HEMBANGTUA
Ima ulos sian tulang ni namuli, patandahon roha napantis do tulang i mangalehon pasupasu tu berena asa siripe gabe, siripe horas namanjalosa. I do umbahen sai umpudi tulang pasahathon ulosna, asa tulang i do pahembanghon pasupasuan (penutup)
7. ULOS NASORABURUK
Ulos nasoraburuk do digoari pauseang. Ai angka ulos nahinataan na diginjang on, ulos natinonun do i.
ULOS PANGOSE
Ia namargoar ulos pangose mangihuthon hatorangan ni angka natua-tua, songon on ma pardalanna: Olo do na mardongan saripe marrongkap badan, ndang marrongkap tondi. Lapatanna, ndang tubuan anak nasida ndang tubuan boru (ndang adong rindangna). Di sada tingki gabe marsirang ma nasida sian dos ni roha nasida be. Di jolo ni raja, sipaulahon ni paranak ma ulos sampetua najinalona hian di tingki pesta unjuk tu parboru. Ima naginoaranna ulos pangose. Ai nungnga mose padan ala so marrongkap tondi. Dung mulak ulos pangose, i pe asa boi muli boru napinasirangna i.
Najolo ninna natua-tua, molo marhamulian sada boru naung marsirang, molo ndang mulak ulos sampetua, dietong nasida do anak natinubuhonna i gabe rindang ni humuliaonna na parjolo. I do umbahen jolo disungkun halak borua i, naung sirang manang naung dipagoi, ai padalan pago-pago do paranak dohot parboru tu raja molo masa angka sisongon i.
Industri Ulos merupakan produksi khas dari desa Meat Kab. Tobasa. Komoditi ini dikategorikan sebagai andalan, dan menjadi primadona. Keistemewaan dan keunikan pakaian adat tradisional Batak ini, menyimpan rahasia keterampilan seni, berpadu dengan budaya.
Eksistensi ulos terlihat jelas, terutama dalam peranannya pada pelaksanaan berbagai budaya adat Batak. Kain tenunan khas Batak yang berbentuk selendang ini, merupakan lambang ikatan kasih sayang. Proses pembuatannya bukanlah pekerjaan mudah. Butuh waktu lama, lewat sentuhan tangan ahli, sehingga akan nampak indah, dalam perpaduan warna yang dirangkai benang bermotif seni.
Ulos memiliki fungsi simbolik, yang tidak dapat dipisahkan dalam aspek kehidupan orang Batak. Berbagai jenis dan motif menggambarkan makna tersendiri. Tergantung sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan tertentu. Kapan digunakan, diberikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana. Dalam perkembangannya, pemberian ulos (mangulosi), diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang. Pejabat pemerintah (pargomgom), dalam acara tertentu, sering diulosi diiringi ucapan semoga dalam menjalankan tugas, akan selalu dalam kehangatan serta penuh kasih sayang kepada warga yang dipimpinnya.
Menurut pandangan bangso Batak, ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dikaitkan dengan tempat pemukiman suku bangso batak, di mana panas yang diberikan matahari dirasakan tidak cukup menangkis udara dingin. Terlebih pada waktu malam hari. Sehingga diyakini, tondi pun perlu diulosi, agar kaum lelaki berjiwa keras, mempunyai sifat kejantanan dan kepahlawanan, serta perempuan mempunyai sifat ketahanan.
Dalam hal mangulosi, ada aturan yang harus dipatuhi. Mangulosi hanya boleh dilakukan oleh mereka, kepada yang menurut status kekerabatan berada di bawahnya. Contoh, orang tua mangulosi anaknya. Tetapi, anak tidak boleh mengulosi orang tuanya. Prinsip kekerabatan tersebut sesuai pemahaman dalihan na tolu, (unsur hula-hula, boru, dan dongan tubu). Seorang boru, sama sekali tidak dibenarkan mangulosi hula-hulanya. Umumnya, Ulos batak tidak dibuat oleh mesin. Melainkan alat tenun bukan mesin (ATBM). Proses pembuatannyapun cukup unik dan menarik.
Itulah ulos, yang telah menjadi sangat istimewa. Menggambarkan keragaman tersendiri. Terdiri atas tiga bahagian. Yaitu, dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bahagian tengah ditenum tersendiri dengan proses yang sangat rumit. Bahagian tengahnya terdiri atas tiga bahagian. Bahagian tengah atau badan, dua bahagian lain sebagai ujung tempat pigura lelaki (pinarhalak hana) dan ujung tempat pigura perempuan (pinarhalak boru-boru). Setiap pigura diberi aneka ragam lukisan, antara lain antinganting sigumang, batuni ansimun, dsb.
Karenanya, menjadi sangat penting menempatkan ulos pada posisi yang tepat.
Adalah, Rosliana boru Hutagaol (47), yang sejak tahun 1980-an, menggeluti profesinya sebagai pengrajin ulos. Jari-jemarinya selalu dengan lincah menari, seperti punya mata, menyusup dan mengaitkan benang warna-warni. Helai demi helai rentangan benang yang dirajutnya, akan berubah menjadi ulos tenunan dengan ornamen berbentuk indah.
Sehelai ulos ragi hotang sepanjang hampir dua meter itu, akan diselesaikan boru Hutagaol dalam waktu hanya tiga hari. Setiap bulannya, ibu dari sembilan putra-putri ini, menjualnya ke onan Balige. Sebanyak 9 atau 10 lembar Ulos yang belum bersirat mampu diselesaikannya. Perolehan hasil penjualannya mencapai hingga satu juta rupiah, dengan harga jual berkisar Rp. 130.000,- per lembar.
Bukan hanya Roslina yang memilih bertenun ulos sebagai sumber mata pencaharian pokok. Umumnya, penduduk desa Meat – Kecamatan Tampahan, sekitar dua belas kilometer dari
Ulos yang dihasilkan desa Meat mendominasi bursa perdagangan ulos tonunan di onan Balige. Sebab, omsetnya hampir mencapai 300 lembar ulos per minggu. Sebagian pasarnya ke luar
Rosliana bergelut menekuni pekerjaannya semenjak masih remaja. Berbekal keterampilan turun-temurun dari orangtua. Ketrampilan itupun kemudian mampu menjadi sumber penopang hidup keluarga. Dan, hasilnya adalah, beberapa orang anaknya mampu disekolahkan hingga ke perguruan tinggi.
Boru Hutagaol mempergunakan alat tenun yang terbuat dari kayu, dilengkapi peralatan lain, seperti pamunggung (merupakan sandaran di punggung, sekaligus berguna sebagai cantelan mengikat dan menahan benang). Pagabe berfungsi memegang benang yang dipintal. Adalagi baliga untuk menyusun dan mengatur benang. Selanjutnya, hatulungan akan membagi benang (bentuknya seperti tombak), disangkutkan di pamapan lalu dililit dengan sitadoan yang berada di kaki orang yang menggunakan alat tenun tangan tersebut. Harga ulos biasanya tergantung dari jumlah lili dan jugianya. (Banyak umpasa Batak terinspirasi dari bagian alat ini. Contoh, Baliga binaligahon. Barita binaritahon. Balintang ma pagabe tumundalhon sitadoan, ari na do gabe asal masipaoloan. Pitu lili nami, paualu jugia nami, Uli nipi nami adong hamu pangalu-aluan nami. dsb.)
Proses pengerjaan sederhana menyelesaikan tenunan ulos, biasanya diawali dengan mangunggas (memintal), kemudian makkulhul / menggulung seterusnya mangani (membentuk) dan akhirnya manotar (bertenun) hingga menghasilkan selembar ulos dalam bentuk jadi, yang siap dijual ke onan Balige.
Sebagai pengrajin ulos yang sudah menekuni profesi ini hingga puluhan tahun, mereka merasa bahagia. Ulos tenunan hasil tangan mereka sebagi partonun, mampu mengangkat nama harum desa ini.
“Biasanya, di desa lain, kerbau dimasukkan ke bara (kandang). Di Meat, di desa kami, orang dimasukkan ke bara atau kandang untuk martonun. Unik,
Rosliana sangat tidak setuju dengan apa yang baru-baru ini disaksikan, saat perayaan hari ulang tahun ke 8 kabupaten Tobasa. “Kami merasa sangat ngilu. Melihat ulos diguntingi dan dipotong-potong. Dijadikan taplak meja, bahkan alas jok kursi untuk dihunduli. Menurut saya, itu pelecehan dan sangat tidak menghargai nilai budaya bangso Batak. Padahal, kami mampu membuat motif yang sudah dirobah dari ulos. Seperti sarung bantal, sprei, dan tempat hand phone” tandas Rosliana kesal.
Seorang pengamat budaya, Ir. Sahala Simanjuntak (50) mengatakan, ulos memaknai ugari ni habatahon, menyangkut patik dan uhum. Apa yang terkandung di dalamnya, jelas merupakan gambaran latar belakang yang merepresentasikan wujud ulos itu sendiri. Sesuai jenis, tergantung sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan tertentu. Kapan digunakan, diberikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana.
“Budaya Batak itu tidak kaku. Tidak terjebak dalam pemahaman sempit, yang berkait dengan aqidah / faham keagamaan. Apa yang menjadi makna dan pengertian dalam penggunaan ulos secara harfiah, yaitu ketika ulos itu telah dipaherbang dan difungsikan. Kemudian, akan menjadikannya sebagai stempel ataupun cap yang sah sebagai pertanda. Ibarat sebuah KTP, hanya akan sah, jika sudah ditanda tangani oleh seorang Camat. Sepanjang Ulos belum disematkan, bentuknya hanyalah merupakan kain Batak biasa. Maknanya jadi berobah, setelah diuloskan saat mangulosi”, tandasnya.
Contoh lain, kata Simanjuntak, ibarat sebuah upacara perkawinan hanya akan sah apabila dipasu-pasu oleh gereja. Atau akad nikah yang dilangsungkan antara kedua mempelai menjadi sah, setelah buku nikah ditanda tangani. Sah sebagai pasangan suami istri dalam rumah tangga, yang disahkan oleh Undang-undang. Kemudian, setelah ulos hela diampehon oleh pihak hula-hula, juga sebagai pertanda yang sah hot dipardongan saripeon menurut adat budaya Batak. Selanjutnya ditambahkan, “keistimewaan dan keunikan ulos, terlihat sejak awal proses pembuatannya. Termasuk jumlah banyaknya Lili dan jugia, serta bentangan kain yang dirajut di tengah, membentuknya jadi selembar ulos. Makna yang terkandung, dilambangkan oleh jenis ulos itu sendiri. Ulos hela dan ulos tujung, dapat disimpulkan sebagai mangulosi badan dohot tondi. Adakah ulos saput yang diberikan kepada orang sudah meninggal, dapat digolongkan sebagai ulos si pa las daging dohot tondi?” Itulah kontra logikanya.
Tautan :
Ulos Ragi Napitu
Kapan Ulos Batak Menjadi Kebanggaan,
Proses Pembuatan Ulos
DIarsipkan di bawah: Journal
Pembuatan benang.
Proses pemintalan kapas sudah dikenal masyarakat batak dulu yang disebut “mamipis” dengan alat yang dinamai “sorha”. Sebelumnya hapas “dibebe” untuk mengembangkan dalam mempermudah pemintal membentuk keseragaman ukuran. Seorang memintal dan seorang memutar sorha. Kemudian sorha ini disederhanakan dengan mengadopsi teknologi yang dibawa oleh Jepang semasa penjajahan. Sorha yang lebih modern dapat melakukan pemintalan dengan tenaga satu orang.
Pewarnaan.
Ulos adalah sehelai kain tenunan yang dirangkai menggunakan motif khusus yang disebut “gatip”
Ulos itu terbuat dari benang, benang dipintal dari kapas. Benang awalnya berwarna putih, dan untuk mendapatkan warna merah disebut “manubar” dan untuk mendapatkan warna hitam disebut “mansop”.
Bahan pewarna ulos terbuat dari bahan daundaunan berbagai jenis yang dipermentasi sehingga menjadi warna yang dikehendaki. Bahan tambahan pewarnaan dari proses permwntasi ini disebut “Itom” yang pada era tahun 60 an masih ada ditemukan dipasaran toba.
Orang yang melakukan pewarnaan benang ini disebut “parsigira”
Gatip.
Rangkaian grafis yang ditemukan dalam ulos diciptakan pada saat benang diuntai dengan ukuran standard. Untaian ini disebut “humpalan”. Satuan jumlah penggunaan benang untuk bahan tenun disebut “sanghumpal, dua humpal” dst. Gatip dibuat sebelum pewarnaan dilakukan. Benang yang dikehendaki tetap berwarna putih, diikat dengan bahan pengikat terdiri dari serat atau daun serai.
Unggas.
Uanggas adalah proses pencerahan benang. Pada umumnya benang yang selesai ditubar atau disop, warnanya agak kusam. Benang ini diunggas untuk lebih memberikan kesan lebih cemerlang. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “pangunggas” dengan peralatan “pangunggasan”.
Benang dilumuri dengan nasi yang dilumerkan kemudian digosok dengan kuas bulat dari ijuk. Nasi yang dilumerkan itu biasanta disebut “indahan ni bonang”.
Benang yang sudah diunggas sifatnya agak kenyal dan semakin terurai setelah dijemur dibawah sinar matahari terik.
Ani
Benang yang sudah selesai diunggas selanjutnya memasuki proses penguntaian yang disebut “mangani”. Namun untuk mempermudah mangani, benang sebelumnya “dihuhul” digulung dalam bentuk bola. Alat yang dibutuhkan adalah “anian” yang terditi dari sepotong balok kayu yang diatasnya ditancapkan tongkat pendek sesuai ukuran ulos yang dikehendaki. Dalam proses ini, kepiawaian pangani sangat menentukan keindahan ulos sesuai ukuran dan perhitungan jumlah untaian benang menurut komposisi warna.
Tonun
Tonun (tenun) adalah proses pembentukan benang yang sudah “diani” menjadi sehelai ulos. Mereka ini yang lajim disebut “partonun”.
Sirat
Proses terakhir menjadikan ulos yang utuh adalah “manirat”. Orang yang melakukan pekerjaan ini disebut “panirat”. Sirat adalah hiasan pengikat rambu ulos. Biasanya dibentuk dengan motif gorga.
Tautan:
Ulos Produk Eksotik
Ulos Mesa
Sopo dohot Ulos
Perajin Ulos
Baliga Ditangan Pria
Ulos batau Untuk Sultan Jogya
Songket Batak Tandingi Songket Palembang
Tenun Ulos ATBM
Mengenal Ulos Batak


PARTUNGKOAN menyebut ulos ini ULOS MESA (MEsin dan SAblon). Moderator menerima dari seorang pedagang ulos berusia muda dan menyatakan cinta dengan kreasi tradisional ulos batak. Ketika seorang distributor ulos mengedarkan ulos itu padanya, dia terkejut dan enggan menjual dan memberikan untuk menjadi pengamatan para tokoh pencinta budaya khususnya seni ulos batak
Awam ulos, ingin ulos asli harus hatihati karena sepintas tidak mudah mengenali Ulos Asli dengan
Raja Bilher Marpaung, menanggapi ini suatu pelesetan nilai seni tenun dan menghilangkan kepandaian “manggatip”.
Hal seperti ini sebaiknya dilakukan untuk bahan kain hiasan, sarung modern dan asesori yang banyak diminati suku lain yang bukan untuk pakaian adat.
Bagaimana pendapat anda?
Tarisopo inganan partonunan dohot partariasan ni naposobulung.
Sopobolon dos ne do balga ro dilambasna dohot rumabolon. Dipangke ma pantarginjangna i isian ni angka ompon namarisi eme ni raja na di huta i. Sipata dipangke do i isian ni eme ugasan torop ni bius. Pantar tardasna dibaen ma i inganan ni angka tutur manang tamue na ro marebat jala marborngin.
Godang do sopobolon didingding dimpos humaliang jala dibahen marpintu inganan ni angka anak manjae painte paulihon jabuna be. Olo do sahat tu naopat ripe mangingani sopobolon i songon parbagi ni inganan di rumabolon.



Tarisopo ummetmet jala sumompit do i sian sopobolon. Dipangke ma pan targinjangna i isian ni eme ni angka parripe namian di bius i. Marsagi ma nasida masibaen ompon isian ni eme nasida be.
Pantar tardasna i ma dipangke inganan partonunan, mangganti, mangani, manghulhul songon i nang inganan pambauan. Tu inganan i do ro angka doli-doli di namartandang siarian. Podoman ni angka naposo doli-doli ni huta i ma i ditingki borngin.
Barana ma dipangke isian ni angka hudon panggaruan, pansopan, panggongonan, panubaran dohot angka naasing dope naporlu hi parbonangan.
Dung sae tingki ni partonun siarian, nasa tonun ro di ula-ula tonun na di tardas i simpan ma i dipauli tu pantar ginjang ni tarisopo i asa jala unang adong disi narundut idaon.
Marguna do surathonon nagabe parningotan tu pagian ni ari goar-goar ni angka ula-ula tonun, i ma: angka, hudon isian ni aek rabu, panggaruan, pansopan, panubaran, pangitoman, panggongonan, parsigiraan dohot lan na asing
Sorha, Pamipis, pamusur, pangganti, pangiran, panghulhulan, anian, anak-anak ni anian, pangunggasan, giling-giling ni pangunggasan, buluhat, unggas, pangholtingan dlna.
Pamapan, pagabe, pamanggung, sitadoan, hatulungan, pargiunan, baliga, lilis, hapulotan, hasoli, turak, sosa, tali sabang, tali papaut, sokkar, sianak-anak, balobas, lili panupe, parrambuan, singkop dlna.
Goargoar ni ulos tonunan namarragam i sipaheon tu tohonanna be, olat ni boaboa nabinege songonon ma,
Pahean ni angka ama/natunggane.
Tal italina :
tumtuman, mangiring,
Sampe-sampena :
ragidup, jugia nasopipot, ragidup silinggom, sibolang si bol ang pamontari, si to) untuho, suri-suri nagan-jang, manang ulos godang.
Ambit-ambitna :
pinunsaan, simarinjam sisi, ragidup silinggom, sibolang pamontari, jobit, bolean nagodang.
Pahean ni angka ina paniaran (marsitabolan, marsanggul bane).
sampe-sampena :
pinunsnan, sirara, sambot, bolean, manqiring, antak-antak, harungguan, bintang maratur, ragihotang, surisuri manang sadum.
ambit-ambitna :
sirnarinjam sisi, ragidup, sibolang, ragidup si 1 inggom, sibolang pamontari, jobit, bolean nagodang.
Pahean ni doli-doli sampe bunga.
sampe-sampena :
suri-suri, sitoluntuho, manang ragihotang.
tali-talina :
mangiring,
ambit ambitna :
ragiragi, runjat, sibolang, jobit, bolean.
Pahean ni anakboru naposobungung (marsitabolan, marsanggul bane)
sampe-sampena :
suri-suri, ragihotang, bintang maratur, mangiring, sadum manang ragihuting.
ambit-ambitna :
runjat, ragi pangko, bolean manang sibolang.
Umpama.
- Ndang sampit t itomna, tu bonangna.
- Marrongkap songon tuak, marsibar songon ulos tonunan.
- Ompu-ompu ni hunik, tomburon tu pansopan ; Ompu ni sinalungun, na soada tudosan.
- Disop sop asa haru birong, ditubar asa haru bara
- Songon panghilalaan nabinusur.
- Rintar songon bonang niunggas, tiar songon bonang di gala.
- Najagar tindang songon pangunggasan,
- Napinasuman hundul songon panghulhulan.
- So tarpasobok songon anak ni anian.
- Na so olo ngalian nang so pola niulosan ; Na soada anian jala ba soada tudosan.
- So tarbahen be turak ala nunga sanga pinonggolan ; So tarbahen be mulak ala nunga marhata parhurajaan.
- Songon tinoktok ni porda, nilonggi ni lili.
- dohot angka udutna.
Umpasa/silupsilupan.
- Dua panggaruan patoluhon panggongonan, Ndada rimangan hata ni panguraura ditol onan.
- Pitu panggaruan paualu panggongonan. Ia langka ni anakboru naung oroan, tu jabu i so tarsise, tu balian so hajonohan. Jonohan i annon, simarhilap halonglongan.
- Ompu-ompu ni hunik enggeon tu pansopan, Dokdok ni sitaonon na soada martudosan.
- Ulos suri-suri, rio-rio ma ditonga-tonga, Ale parlagu nauli, maol longkang sian roha.
- Balintang ma pagabe, tumundalhon sitadoan; Sahat do hita gabe molo marsahata saoloan.
- Dihehe ma hatulungan, disurukhon ma baliga; Tanda ni namalungun, peut so peut sian roha.
- Tambai giunmi, sigati ma parrambuan, Pasombu siholmi, tatap sirumondang bulan.
- Diiran bonang mambahen tu humpalan, Sahumpalan disagihon tu sampulu labean. Unang mangura-ura ditolonan, pajoji parbadaan, Naolo talu i do jumadi monang diparolop-olopan.
- Sampe-sampe ma diginjang, diabithon simarinjamsisi; Unang pinaganjang sihataon asa mura nasega i pinauli.
- Nililit pe pagabe dongan ni pamapan. Manat do manise unang gabe hasurahan.
- Tinoktok ni pordangku, nilonggi ni lilingku; I do tinodo ni rohangku, sinolom ni panailinghu.
- Bulung ni si gira-gira, dilompa mardeba-deba; Tangkas ma I pininta, asa jampi ulibasa.
- dohot udutna.
Jari-jemarinya dengan lincah menari. Seperti punya mata. Menyusup dan mengaitkan benang warna-warni. Helai demi helai rentangan benang yang dirajutnya, akan berubah menjadi ulos tenunan dengan ornamen berbentuk indah. Pengrajin Ulos begitu banyak dan mudah dijumpai. Semuanya perempuan.

Bukan hanya kain tenun Ulos saja, yang sudah sangat jarang dan mulai langka. Penenun, seperti pria satu ini, tegolong sangat langka. Hanya bisa dijumpai, pada sebuah desa di Sigaol, Kec. Uluan Kab. Tobasa, Desa ini, bisa ditempuh dengan akses kapal menelusuri pinggiran danau Toba, dengan memakan waktu selama 30 menit dan perjalanan darat dari Porsea.
Pria simpatik, yang pandai bertenun ini bernama E. Hasibuan, berusia 23 tahun. Dia mengaku mahasiswa semester akhir jurusan Matematik. Kuliah di Universitas Negeri
Unik dan menarik. Sebab, umumnya penenun adalah kaum perempuan. Ibu-ibu atau gadis remaja. Namun Hasibuan yang satu ini beda. Mungkin hanya dia satu-satunya pria partonun di Tobasa. Satunya lagi ada di daerah Kab. Tap. Utara.
Ini hanya sambilan. Untuk mengisi waktu libur di kampong, katanya saat kami temui dirumahnya.
“Aku hanya menenun, sementara yang lainnya memintal dan menggulung benang. Keahlian ini kumiliki sejak kecil. Itu mungkin karena aku cukup senang dan tertarik dengan seni bertenun, Memang sich. Pekerjaan ini, biasanya dikerjakan kaum perempuan. Tapi, untuk aku, biasa aja koq”, kata Hasibuan melanjutkan perbincangan.
Dikatakan, proses pengerjaan menyelesaikan tenunan ulos, diawali dengan memintal benangnya terlebih dulu (mangunggas) Kemudian dilanjutkan dengan pekerjaan menggulung benang makkulhul. Seterusnya membentuk (mangani). Proses kerja terakhir adalah bertenun (manotar), hingga akhirnya menghasilkan selembar ulos dalam bentuk jadi.
Hasibuan mengakui, setiap liburan kuliah dia selalu pulang kampung. Disamping melepas kerinduan dengan kampung halaman, waktu senggangnya dapat dimanfaatkan dengan sebuah kegiatan menghasilkan yang berarti. “Aku hanya bertenun saat mengisi libur. Sambil mencari penghasilan tambahan” akunya
Selain kerinduan dengan bona pasogitnya bisa terobati, pria yang sebentar lagi akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selalu rutin mudik. Calon sarjana pendidikan jurusan matematika Unimed ini mengisi liburnya dengan manfaat ganda yang menguntungkan. “Hasilnya, bisa lumayan. Sambil meringankan beban orang tua” ucapnya bersemangat.
Apa harapannya dalam menghargai nilai warisan budaya tersebut?
MERDI SIHOMBING
[Ethnical Fashion & Textile Designer]
Telah dicanangkan bahwa pada tahun 2010, Danau Toba dan sekitarnya akan menjadi salah satu tempat wisata yang menjadi sumber pendapatan beberapa daerah. Namun sangat disayangkan bahwa realisasi dilapangan tidak sesuai dengan kenyataan.
Seiring dengan keinginan para politikus Batak dalam mewujudkan Propinsi Tapanuli {PROTAP) dengan semboyan dan harapan harapan yang muluk tanpa memikirkan masyarakat bawah yang kebanyakan berpenghasilan dari membuat kraft/kain sebagai pelengkap tujuan wisata tersebut.
Apakah pernah terlintas opini untuk perduli dan merefleksikan pengembangan terhadap kraft/kain (ULOS-SONGKET BATAK) sebagai SUMBER EKONOMI BARU BAGI RAKYAT khyususnya BANGSA BATAK ?.
Dalam mewujudkan program tersebut diperlukan synergi dari beberapa elemen elemen komunitas Batak seperti dari Budayawan, politikus, rohaniawan, seniman dan pemerintah setempat.
ULOS-SONGKET BATAK
Ciri khas ULOS/SONGKET BATAK dengan motif geometris dengan nama motif :
a. batu ni ansimun
b. anting anting
c. sigumang
d. suhi ni ampangnaopat
e. sipitu parbue
f. margoli-goli ibana
g.
h. sirat torus
i. sirat papanna.
Semua jenis motif dan design ini mengandung arti yang berbeda beda. Alat tenun yang digunakan adalah gedogan sederhana (body-tension loom with a continuous warp)
Ulos terdiri dari 3 bagian [2 sisi,1 badan]: dan 5 bagian.[2 sisi,2 ulu,1 badan]
Pada bagian badan terdapat motif ikat sederhana (ikat warp atau lungsi).
Pada bagian ulu atau kepala terdapat motif motif jungkit seperti yang sudah disebutkan diatas merminkan semua unsur yang erat hubungannya dengan kehidupan, budaya, alam, kekeluargaan.
Pada kedua ujung ulos dijalin benang yang dinamakan Sirat.
Dengan teknik desain pakan tambahan yang disebut Jungkit (istilah populernya disebut songket) belakangan ini sudah memakai metallic yarn berwarna gold, silver.
Seperti ULOS RAGIDUP, meskipun menggunakan alat tenun yang sederhana dengan tingkat kesulitan yang sangat rumit dalam pengerjaannya maka sepantasnya masyarakat Batak dapat menghargai nilai warisan budaya tersebut.
KENAPA……? SEJAK KAPAN……? wanita Batak sangat memuja, bangga, berlomba-lomba untuk memakai kain songket
Pertanyaan ini membuat kerinduan sebagai anak bangsa Batak to push my self untuk:
BAGAIMANA MENGEMBANGKAN (EXPLORATIF) dan berusaha untuk MEMASYARAKATKAN kekayaan yang kurang di hargai (ULOS/SONGKET BATAK).
BAGAIMANA MENTRANSFORMASINYA agar semakin baik dari konvensional menjadi kelihatan lebih modern tanpa meninggalkan filosofi{pakem, warna budaya.}
BAGAIMANA BISA MEMBUAT PRODUK ULOS/SONGKET BATAK menjadi sangat bagus, sampai semua mata dunia meliriknya sebagai KARYA YANG LUAR BIASA.
BAGAIMANA MERUBAH PARADIGMA dikalangan wanita Batak yang sering menganggap ULOS/SONGKET BATAK tidak berharga, sangat kuno, kasar, tidak indah “it’s not cool’ menjadi sangat-sangat mencintai dan malu jika tidak memakainya..
Saya rasa all of my dream bisa terwujud apabila:
Kerja keras, keseriusan, rasa memiliki, merasa ini menjadi tugas yang harus dipikul, semangat pantang menyerah, penggalian seni yang berkesinambungan, kesabaran yang luar biasa.
Dukungan terdekat seperti:
1. Keluarga
2. Masyarakat al: orangtua harus berperan dlm memperkenalkan cinta budaya Batak kepada anak-anaknya sedari dini.
3. Media al: harus lebih mengexpose, karena media sebagai alat terkuat dalam propaganda dan sosialisasi.
4. Pemerintah. al: harus lebih berani memperkenalkan ke kancah Internasional and this time untuk menghargai Kain Tenun ULOS/SONGKET juga seniman pembuatnya.
Seri Diskusi Injil & Adat
Oleh: Pdt Daniel T.A. Harahap
1. HASIL PERADABAN
Ulos (lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa ahli ulos (baca: tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya
alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil). Itu artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi). Kenapa? Karena nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki. Pertanyaan: lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru pada jaman sebelum masyarakat Batak mengenal alat tenun dan tekstil tersebut?
alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil). Itu artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi). Kenapa? Karena nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki. Pertanyaan: lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru pada jaman sebelum masyarakat Batak mengenal alat tenun dan tekstil tersebut?
Pertanyaan itu hendak menyadarkan komunitas Kristen-Batak untuk menempatkan ulos pada proporsinya. Ulos pada hakikatnya adalah hasil sebuah tingkat peradaban dalam suatu kurun sejarah. Ulos pada awalnya adalah pakaian sehari-hari masyarakat Batak sebelum datangnya pengaruh Barat. Perempuan Batak yang belum menikah melilitkannya di atas dada sedangkan perempuan yang sudah menikah dan punya anak atau laki-laki cukup melilitkannya di bawah dada (buha baju). Ulos juga dipakai untuk mendukung anak (parompa), selendang (sampe-sampe) dan selimut (ulos) di malam hari atau di saat kedinginan.
Dalam perkembangan sejarah nenek-moyang orang Batak mengangkat kostum atau tekstil (pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium pemberian hula-hula kepada boru (pihak yang lebih dihormat kepada pihak yang lebih menghormat).
2. MAKNA AWAL
Secara spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari mertua kepada menantu/
anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan ini bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi simbol kehangatan adalah: matahari dan api.
anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona) untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan ini bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi simbol kehangatan adalah: matahari dan api.
Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos itu an sich yang memang penting, juga kata-kata (berkat atau pesan) yang ingin disampaikan melalui medium ulos itu. Kita juga mencatat secara kreatif nenek-moyang Batak juga menciptakan istilah ulos na so ra buruk (ulos yang tidak bisa lapuk), yaitu tanah atau sawah. Pada keadaan tertentu hula-hula dapat juga memberi sebidang tanah atau ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada borunya. Selain itu juga dikenal istilah ulos na tinonun sadari (ulos yang ditenun dalam sehari) yaitu uang yang fungsinya dianggap sama dengan ulos.
Ulos yang panjangnya bisa mencapai kurang lebih 2 meter dengan lebar 70 cm (biasanya disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh) ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong rumah. Sebagaimana kebiasaan jaman dahulu mungkin saja para penenun pra-Kristen memiliki ketentuan khusus menenun yang terkait dengan kepercayaan lama mereka. Itu tidak mengherankan kita, sebab bukan cuma menenun yang terkait dengan agama asli Batak, namun seluruh even atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu. (Yaitu: membangun rumah, membuat perahu, menanam padi, berdagang, memungut rotan, atau mengambil nira). Mengapa? Karena memang mereka pada waktu itu belum mengenal Kristus! Sesudah nenek moyang kita mengenal Kristus, mereka tentu melakukan segala aktivitas itu sesuai dengan iman Kristennya, termasuk menenun ulos!
3. PERGESERAN MAKNA ULOS
Masuknya Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus diakui sedikit-banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos. Nenek-moyang Batak mulai mencontoh berkostum seperti orang Eropah yaitu laki-laki berkemeja dan bercelana panjang dan perempuan Batak (walau lebih lambat) mulai mengenal gaun dan rok meniru
pola berpakaian Barat. Ulos pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum atau pakaian sehari-hari kecuali pada even-even tertentu. Ketika pengaruh Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak, penggunaan ulos sebagai pakaian sehari-hari semakin jarang. Apa akibatnya? Makna ulos sebagai kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun konsekuensinya ulos (karena jarang dipakai) jadi malah dianggap “keramat”. Karena lebih banyak disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu “magis” atau “keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos sementara sebagian lagi menganggapnya benar-benar bertuah.
pola berpakaian Barat. Ulos pun secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan sebagai kostum atau pakaian sehari-hari kecuali pada even-even tertentu. Ketika pengaruh Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak, penggunaan ulos sebagai pakaian sehari-hari semakin jarang. Apa akibatnya? Makna ulos sebagai kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun konsekuensinya ulos (karena jarang dipakai) jadi malah dianggap “keramat”. Karena lebih banyak disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu “magis” atau “keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos sementara sebagian lagi menganggapnya benar-benar bertuah.
4. ULOS DAN KEKRISTENAN
Bolehkah orang Kristen menggunakan ulos? Bolehkah gereja menggunakan jenis kostum atau tekstil yang ditemukan masyarakat Batak pra-Kristen? Jawabannya sama dengan jawaban Rasul Paulus kepada jemaat Korintus: bolehkah kita menyantap daging yang dijual di pasar namun sudah dipersembahkan di kuil-kuil (atau jaman sekarang disembelih dengan doa dan kiblat agama tertentu)? Jawaban Rasul Paulus sangat tegas: boleh. Sebab makanan atau jenis pakaian tidak membuat kita semakin dekat atau jauh dari Kristus (II Korintus 8:1-11). Pertanyaan yang sama diajukan oleh orang Yahudi-Kristen di gereja Roma: bolehkah orang Kristen makan babi dan atau bercampur darah hewan dan semua jenis binatang yang diharamkan oleh kitab Imamat di Perjanjian Lama? Jawaban Rasul Paulus: boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus (Roma 14:17). Analoginya sama: bolehkah kita orang Kristen memakai ulos? Jawabnya : boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan soal kostum, jenis tekstil atau mode tertentu, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, pada masa lalu ulos adalah medium (pengantara) pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang, bagi kita komunitas Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi sekedar sebagai simbol atau tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan kasih hula-hula kepada boru. Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula dapat berdoa kepada Allah dan Tuhan Yesus Kristus memohon berkat untuk borunya. Ulos adalah simbol doa dan kasih hula-hula kepada boru. Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya: bunga, cincin, sapu tangan, tongkat dll.
5. NILAI ULOS BAGI KITA ORANG KRISTEN MODEREN
Sebab itu bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur itu tetap bernilai atau berharga minimal karena 4 (empat) hal:
Pertama: siapa yang memberikannya. Ulos itu berharga karena orang yang memberikannya sangat kita hargai atau hormati. Ulos itu adalah pemberian mertua atau tulang atau hula-hula kita. Apapun yang diberikan oleh orang-orang yang sangat kita hormati dan menyayangi kita - ulos atau bukan ulos - tentu saja sangat berharga bagi kita.
Kedua: kapan diberikan. Ulos itu berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya sangat penting bagi kita. Ulos itu mengingatkan kita kepada saat-saat khusus dalam hidup kita saat ulos itu diberikan: kelahiran, pernikahan, memasuki rumah dll. Apapun pemberian tanda yang mengingatkan kita kepada saat-saat khusus itu – ulos atau bukan ulos - tentu saja berharga bagi kita.
Ketiga: apa yang diberikan. Ulos itu berharga karena tenunannya memang sangat khas dan indah. Ulos yang ditenun tangan tentu saja sangat berharga atau bernilai tinggi karena kita tahu itu lahir melalui proses pengerjaan yang sangat sulit dan memerlukan ketekunan dan ketrampilan khusus. Namun tidak bisa dipungkiri sekarang banyak sekali beredar ulos hasil mesin yang mutu tenunannya sangat rendah.
Keempat: pesan yang ada dibalik pemberian ulos. Selanjutnya ulos itu berharga karena
dibalik pemberiannya ada pesan penting yang ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat. Ketika orangtua atau mertua kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan ulos itu dia menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan kita ingat saat kita mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.
dibalik pemberiannya ada pesan penting yang ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat. Ketika orangtua atau mertua kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan ulos itu dia menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan kita ingat saat kita mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.
Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita menghargai ulos yang kita terima dari orang yang tidak kita kenal, pada waktu sembarangan secara masal, dengan kualitas tenunan asal-asalan? Tidak mungkin. Sebab itu komunitas Batak masa kini harus serius menolak trend atau kecenderungan sebagian orang “mengobral ulos”: memberi atau menerima ulos secara gampang. Ulos justru kehilangan makna karena terlalu gampang memberi atau menerimanya dan atau terlalu banyak. Bagaimana kita bisa menghargai ulos sebanyak tiga karung?
Dalam Batak ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang dianggap lebih tinggi kepada pihak yang dianggap lebih rendah. Namun keadaan kadang membingungkan. Ulos diberikan juga justru kepada orang yang dianggap pemimpin atau sangat dihormati. Dalam kultur Batak padahal ulos tidak pernah datang dari “bawah”. Lantas mengapa kita kadang memberi ulos kepada pejabat yang justru kita junjung, atau kepada pemimpin gereja yang sangat kita hormati? Bukankah merekalah yang seharusnya memberi ulos (mangulosi)? Kebiasaan memberi ulos kepada Kepala Negara atau Eforus (pimpinan gereja) selain mereduksi makna ulos juga sebenarnya merendahkan posisi kepala negara dan pemimpin gereja itu.
7. HANYA SALAH SATU CIRI KHAS
Ulos memang salah satu ciri khas Batak. Namun bukan satu-satunya ciri kebatakan. Bahkan sebenarnya ciri khas Batak yang terutama bukanlah ulos (kostum, tekstil),
tetapi bius dan horja, demokrasi, parjambaran, kongsi dagang, dan dalihan na tolu. Posisi ulos menjadi sentral dan terlalu penting justru setelah budaya Batak mengalami reduksi yaitu diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni pernikahan yang sangat konsumtif dan eksibisionis. Hanya dalam rituslah kostum atau tekstil menjadi dominan. Dalam aksi sosial atau perjuangan keadilan politik, ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah tantangan utama kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita yang lebih substantif atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan bukan sekadar meributkan asesori atau kostum belaka.
tetapi bius dan horja, demokrasi, parjambaran, kongsi dagang, dan dalihan na tolu. Posisi ulos menjadi sentral dan terlalu penting justru setelah budaya Batak mengalami reduksi yaitu diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni pernikahan yang sangat konsumtif dan eksibisionis. Hanya dalam rituslah kostum atau tekstil menjadi dominan. Dalam aksi sosial atau perjuangan keadilan politik, ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah tantangan utama kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita yang lebih substantif atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan bukan sekadar meributkan asesori atau kostum belaka.
8. ULOS DITERIMA DENGAN CATATAN
Ekstrim pertama: Sebagian orang Kristen-Batak menolak ulosnya karena dianggap sumber kegelapan. Padahal darah Tuhan Yesus yang tercurah di Golgota telah menebus dan menguduskan tubuh dan jiwa serta kultur Batak kita. Ulos artinya telah boleh dipergunakan untuk memuliakan Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus.
Ekstrim yang lain: Sebagian orang Kristen-Batak mengeramatkan ulosnya. Mereka menganggap ulos itu keramat, tidak boleh dijual, tidak boleh dipakai. Mereka lupa bahwa Kristus-lah satu-satunya yang berkuasa dan boleh disembah, bukan warisan nenek moyang termasuk ulos.
Sikap kristiani: Tantangan bagi kita komunitas Kristen-Batak sekarang adalah menempatkan ulos pada proporsinya: kostum atau tekstil khas Batak. Tidak lebih tidak kurang. Bukan sakral dan bukan najis. Jangan ditolak dan jangan dikeramatkan! Jangan dibuang dan jangan cuma disimpan!
(Pdt Daniel.T.A.Harahap)
RAKSA-NI-ULOS-BATAK
RAKSA lapatanna : pangalaho, guna, manang tujuan na dapot paboaon taringot tu sada barang. Jadi molo RAKSA NI ANGKA ULOS , marlapatan ma i tujuan manang guna ni angka massam ni ulos.
1. ULOS MANGIRING.
Di adat batak, Ulos on jot-jot do dilehon halak songon parompa, na marsinta-sintahon asa martinodohon anak dohot boru dope dak-daknak na pinarompana i, asa lam torop iring-iring-on ni natorasna.
Jot-jot do tu anak dohot boru na baru marbagas ni uloshon “ulos mangiring” on, na marsintahon asa tibu ro hagabeon tu nasida, laos ni dok ma umpasa :
Giring-giring gosta-gosta.
Sai tibu ma hamu mangiring-iring huhut mangompa-ompa
PAMANGKENA : Pinartali-tali manang sinampesampehon.
2. ULOS MANGIRING PINARSUNGSANG.
Ia ulos on pangkeon ma on mangulosi molo songon na adong na masisuharan(marsungsang) di partuturan. umpamana na pinarhula-hula hian gabe pinarboru. Jadi ulos on ma pakeon mangulosi penganten manang mambahen parompa ni dak-daknak. Jala di tingki na mangkatahon ulos i pangulosi ingkon solothononna ma mandok umpama
Rundut biru ni eme, mambahen tu porngisna
Marsijaitan andor ni gadong mambahen tu ramosna
PAMANGKENA : Pinartali-tali manang sinampesampehon
3. ULOS BINTANG MAROTUR (MARATUR)
Didok ompunta sijolo-jolo tubu ninna barita i, On ma ulos Siboru Habonaran, Si Boru Deak Parujar, mula ni panggantion dohot parsorhaon, pargantang pamonori na so boi lobi na so boi hurang. Ia ulosna i ima na margoar
Bintang na maratur (marotur)
Siatur maranak, siatur marboru
Siatur hagabeon, siatur hamoraon
Tu na olo mangido sian Amanta Debata.
Jadi molo binahen ulos on mangulosi penganten. solothonot-hon ma tamba ni angka hata pasupasu jala dohonon, Ulos bintang marotur do on, asa sai anggiat ma diatur jala dilehon Amanta Debata Parasi Roha i dihamu hagabeon dohot pansamotan, asa ro nian angka i ditingki na lehet, di ombas na denggan jala mambahen tua di hamu.
Molo gabe parompa do ulos on ulos-honot-hon, tambahonon ma tu angka hata dohot pasupasu sidohonon hian angka pandohan on, “Ia ulos on bintang marotur do, asa sai anggiat ma diparbisuhi Amanta Debata Parasi Roha i hamu manogunogu jala mangatur dak-daknak on dohot angka tinodohonna na naeng gabe jolma na malo mangaur angka tinodohonna, tu hadengganon dohot harentaon.
PAMANGKENA : Pinartali-tali manang sinampesampehon
Horas
Parjabu sukubatak.com
Diambil dari buku : TM Sihombing (O. ni Marhulalan)
Berlanjut ke Ulos Batak Godang-Ragihotang-Sitolun
| |
| |
Ulos ini juga biasanya diberikan kepada keluarga baru dengan maksud semoga TUHAN memberkatinya cepat punya keturunan. |
| |
| |
![]() |
| |
| |
![]() Ulos hela adalah ulos yang mengartikan bahwa pengantin selalu dalam suka dan duka (senang dan derita), dalam lindungan TUHAN serta tetap dalam ikatan kasih, mendapat keturunan dan menjadi keluarga bahagia. Ulos ini biasanya dikenal ulos godang yang juga diberikan kepada putranya yang mampu membahagiakan orang tuanya. Kegunaan ulos ini agar yang menerima ulos godang ini diharapkan mampu memberikan kebahagiaan kepada famili dan atau kaum kerabat dan masyarakat dan juga mendapatkan berkat TUHAN |
| |
| |
![]() |
| |
| |
|
| |
| |
Ulos ini mempunyai keistimewaan karena menggambarkan Dalihan Natolu [ PESAN SEKARANG ] |
| |
| |
Maksud pemberian Ulos Bintang Maratur ini semoga TUHAN memberkatinya keturunan, kekayaan, kemakmuran, kesehatan, kerukunan dan kebahagiaan. [ PESAN SEKARANG ] |
| |
| |
Ulos ini dapat dipakai ....anak dan ulos ini mempunyai keistemawaan yaitu bahwa rambunya tidak dipotong sehingga cara memakainya sama dengan memakai kain sarung. [ PESAN SEKARANG ] |
| |
| |
![]() |
| |||
| |||
Begitu sulit dan membutuhkan keterampilan yang tinggi untuk menenun ulos ini, sehingga Ragi idup ini adalah induk dari ulos batak yang kelasnya lebih tinggi dari pada ulos batak lainnya. Bila di amati motive tenunan ulos ini seperti saling bersinergi (hidup) jadi disebutlah ragi (corak) hidup. Dalam masyarakat Batak hidup (ngolu) sangat tinggi nilainya. Pada umumnya orang Batak sangat mengagungkan biar bisa lama hidup (saur matua). Ulos ragi idup ini juga simbol kehidupan yang menggambarkan simbol kekayaan, kemakmuran dan simbol kesehatan. Ulos ragidup sering juga diberikan sebagai penghormatan, kenangan dan perpisahan kepada pejabat, ulos ini juga dapat dipakai kaum bapak waktu pesta besar. Catatan, kaum Bapak dalam hal ini yang telah mempunyai cucu |
Banyak masyarakat Batak sendiri pada saat ini seakan telah mengabaikan arti maupun makna dari ulos tersebut, maka dari itu kami berusaha mengingatkan kembali kepada masyarakat Batak yang memiliki kultur beragam agar terus berupaya melestarikan budaya dan tradisi maupun kerajinan masyarakat Batak khususnya.
Web ini khusunya menyajikan berbagai jenis ulos yang ditenun sendiri oleh tangan-tangan terampil masyarakat Batak dan juga kami akan berupaya mengembalikan makna dari masing-masing ulos tersebut, sehingga masyarakat tahu kegunaannya saat kapan dan dimana dan oleh siapa. Sangat ironis apa bila masyarakat batak sendiri tidak menyadari dan memaknai arti tersebut.
Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memelihara adat istiadat ini, untuk itu kami himbau seluruh masyarakat batak dimanapun berada ataupun masyarakat yang cinta akan kelestarian adat dan keneka ragam budaya umumnya, kiranya dapat mendukung kelestarian akan keberadaan Ulos ini ditengah-tengah perkembangan teknologi dunia saat ini.
Kami sebagai pengelola web ini, akan berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik kepada kita semua bila kiranya ada saran dan petunjuk dari pengunjung kami akan menampung untuk tercapainya hasil yang maksimal.

Perlukah atau dapatkah, Ulos Batak mendapat perlindungan secara hukum…?, apa dasar hukum perlindungan Ulos Batak.
UU no 39 tahun 1999 tentang HAM, dalam rangka penegakan hak azasi manusia perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat, hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah;
Kemudian, Identitas budaya masyarakat, hukum adat termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Sedangkan, UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 7: Kewenangan daerah juga mencakup pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia dan pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis.
UU No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, pasal 10, (1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan sejarah dan benda budaya nasional lainnya.
(2) Negara memegang hak cipta atas Folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti, cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad lagu, kerajina tangan, koreagrafi, tarian, kaligrafi dan karya seni.
(3)Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya tersebut pada ayat (2) orang yang bukan warga Negara
Hak Budaya diatur UU Hak Cipta No.19/2002, defenisinya, sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok masyarakat yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standard dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun.
Contoh Hak Budaya:
Cerita Rakyat, Puisi Rakyat, Lagu-lagu Rakyat, Tari-tarian Rakyat, Permainan Tradisional.
Sehingga masa Perlindungan Hak Cipta, jika pencipta selama hidup, dan ditambah 50 tahun lamanya setelah pencipta meninggal dunia.
Sedangkan Hak Budaya selama Budaya itu ada..!
Hak Cipta, selama pencipta hidup…
Hak Budaya, selama Budaya itu ada…
Ulos Batak
Januari 6, 2009 oleh Jontri Pakpahan
Ulos (lembar kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa ahli ulos (tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan masuknya alat tenun tangan dari India . Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil).
Komunitas Tenun Ulos Batak merupakan kelompok masyarakat yang mengerjakan tenun tradisional ulos batak dan salah satunya yang terletak di desa Lumban Suhi-suhi yang berjarak + 4 Km dari Kota Pangururan.
Komunitas Tenun Ulos Batak merupakan kelompok masyarakat yang mengerjakan tenun tradisional ulos batak dan salah satunya yang terletak di desa Lumban Suhi-suhi yang berjarak + 4 Km dari Kota Pangururan.
1. Beberapa jenis ulos batak yang ada di komunitas tenun ulos adalah: Ulos Jugia –> Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau pinunsaan”
2. Ulos Ragi Hidup –> Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak.
3. Ragi Hotang –> Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos Marjabu. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).
4. Ulos Sadum –> Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita.
5. Ulos Runjat –> Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos edang-edang (dipakai pada waktu pergi ke undangan).
6. Ulos Sibolang –> Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita.
7. Ulos Suri-suri ganjang –> Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang.
8. Ulos Mangiring –> Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan.
9. Bintang Maratur –> Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan.
10. Sitoluntuho-bolean –> Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa.
11. Ulos Jungkit –> Ulos ini jenis ulos nanidondang atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut
12. Ulos Lobu-lobu –> Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak).
Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi. Yang membedakan adalah poses pembuatannya yang mempunyai tingkatan tertentu. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos. Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” Ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak). Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
1. Proses Pembuatan ulos batak yang sering dilakukan di komunitas ulos batak yaitu: Pembuatan benang –> Proses pemintalan kapas sudah dikenal masyarakat batak dulu yang disebut “mamipis” dengan alat yang dinamai “sorha”.
2. Pewarnaan –> Bahan pewarna ulos terbuat dari bahan daundaunan berbagai jenis yang dipermentasi sehingga menjadi warna yang dikehendaki.
3. Gatip –> Rangkaian grafis yang ditemukan dalam ulos diciptakan pada saat benang diuntai dengan ukuran standard.
4. Unggas –> Unggas adalah proses pencerahan benang.
5. Ani –> Benang yang sudah selesai diunggas selanjutnya memasuki proses penguntaian yang disebut “mangani”.
6. Tonun –> Tonun (tenun) adalah proses pembentukan benang yang sudah “diani” menjadi sehelai ulos.
7. Sirat –> Sirat adalah hiasan pengikat rambu ulos. “Manirat” merupakan proses terakhir untuk menjadikan ulos yang utuh.
sumber FYP Kelompok 1B1 PIDEL
Monday, June 29, 2009
Jenis Ulos Batak (Ulos Sumatera Utara)
Tidak tertutup kemungkinan jenis ulos masih ada selain dibawah ini, kalau ada jenis Ulos selain dibawah ini mohon ditambahkan agar tidak bisa diketahui orang banyak, khususnya Orang Batak yang sudah tidak mengetahuinya. Menurut cerita-cerita masyarakat, Motif Asli Ulos Batak yang ada di Masyarakat Batak kemungkinan ada di Eropa, namun hal ini perlu pendalaman lebih jauh tentang kebenarannya.
Jenis-Jenis Ulos Batak yang ada:
1. ULOS RAGIDUP.
Ulos yang paling tinggi derajat dari semua Ulos menurut Batak adalah ULOS RAGIDUP. Derajat Ulos ini sering dijadikan orang batak menjadi symbol di suatu Gedong atau corak warna suatu Gedung atau rumah. Ulos ini kalau kita cermati, seolah-olah semua coraknya/bentuknya terkesan hidup bersenyawa dalam kederajatannya. Dan inilah yang menjadi penyebab mengapa disebut ULOS RAGIDUP. Aragi artinya Hidup.
Ulos Ragidup ini menjadi Simbol Kehidupan, dan cerminan hidup ini menjadi harapan buat orang batak untuk hidup dalam waktu yang panjang atau lebih panjang umurnya daripada orang yang lebih tua sebelumnya. Sehingga bagi orang batak, Tindakan Bunuh Diri menjadi suatu tindakan yang paling bodoh dan perlu dihindarkan dalam kondisi apapun. Inipula yang menjadi salah satu mengilhami orang Batak punya prinsip Biar Miskin yang mendera sepanjang perjalanan hidup, namun tetap harus berjuang demi hidup.
Biasanya Ulos ini dipakaikan dengan cara dijadikan Selendang (Sitalihononton).
Itu sebabnya ada umpama berikut :
“Agia pe lapalapa, asal di toru ni sobuan, agia pe malapalap, asal ma dihangoluan, ai sai na boi do partalaga gabe parjujuon”.
Bagian-bagian / nama dan arti dari ulos ragidup adalah sbb :
-
- Dua sisi tadi mengapit tiga bagian dan disebut “ badan “. Bagian palingujung dimana bentuknya kelihatan sama disebut “ ingananni pinarhalak “. Ingananni pinarhalak terbagi dua lagi , yakni ingananni pinarhalak baoa (laki-laki) dang inganan ni pinarhalak boru-boru.
Bagian “badan “ tadi warnanya merah kehitamandan ditingkahi garis-garis putih yang disebut “honda “. Ingananni pinarhalak tadi adalah simbol hagabeon, maranak dan marboru.
Masih terdapat tiga symbol lagi di
1. Antinganting, adalahsimbol hamoraon, karena antinganting biasanyaterbuat dari emas.
2. Sigumang = beruang, yakni simbol kemakmuran. Beruang adalah binatang yangbekerja tepat dan efisien, tidak banyak aksi.
3. Batu ni ansimun, melambangkan hahipason (ansimun sipalambok, taoarsipangalumi).
Di celah ketiga simbol ini, ada lagi macam bunga yang disebut “ipon”, dan dicelah ipon-ipon tadi ada yang disebut dengan “rasianna”.
Cara mangarasi = memeriksa Ragidup yang baik :
1. Ulos itu kelihatan jernih.
2. Tenunannya rapi dan ukurannya benar.
3. Honda harus berjumlah ganjil.
4. Jumlah ipon harus benar.
Motif ulos ini agak rumit dan menurut informasinya ulos ini menjadi Ulos yang tersulit dibuat.
2. ULOS RAGIDUP SILINGGOM.
Perbedaan ulos ini dengan Ragidup biasa adalah bagian “ badan “. Ulos inipunya badan yang kelihatan lebih linggom = gelap. Ulos inilah yang palingtepat diberikan kepada anak yang punya pangkat dan punya kuasa, denganmaksud, kita bisa marlinggom = berlindung di bawah kebijaksanaannya. Inibisa juga kita berikan kepada petinggi yang mendatangi kampung kita.Ragidup Silinggom tidak diperjual belikan. Tapi entahlah ada pihak tertentuyang melakukannya. Sebenarnya, ulos jenis ini hanya akan ditenun bila adapemesannya.Cara memakainya : sinampesampehon.
3. ULOS BINTANG MAROTUR / ULOS MARATUR.
Beginilah leluhur kita menyebut ulos ini, “On ma ulos ni Siboru Habonaran, Siboru Deak Parujar, mula ni panggantion dohot parsorhaon, pargantang pamonori, na so boi lobi na so boi hurang. Artinya adalah kebijaksanaan. Ulos ini juga disebut sebagai siatur maranak, siatur marboru, siatur hagabeon, siatur hamoraon.
4. ULOS GODANG / ULOS SADUM ANGKOLA
Disebut juga Sadum atau Sadum Angkola. Ulos ini mungkin yang paling Bagus coraknya dan Indah warnanya di antara semua ulos, sehingga Ulos ini sangat Mahal. Lebar Ulos ini juga cukup lebar diantara Ulos batak lainnya.
Secara Tingkatan Derajat Ulos Sadum/Ulos Godang masih dibawah Ulos RAGIDUP, tapi kalau masalah Harga, Ulos ini jauh lebih mahal dari Ulos Ragidup.
Ulos godang biasanya diberikan kepada anak kesayangan kita, yang membawa sukacita dalam keluarga. Inilah yang diharapkan dengan adanya pemberian ulos ini, supaya kelak si anak makin membawa hal-hal kebajikan yang banyak dan besar / godang (banyak), mencapai apa yang dicita-citakannya dan mendapat berkat yang banyak dan besar dari Oppu Debata (Tuhan). Pengertian Oppu Debata disini adalah Tuhan Allah yang Maha Kuasa, termasuk buat Orang Batak yang beragama Non Kristen, namun perkembangan jaman seringkali pengertian Oppu Debata lebih ditujukan ke Orang Batak yang beragama Kristen.
Biasanya Ulos Godang ini sering dibuat baju dan selain itu cara memakainya bisa dengan diabithon (dipakai) , dihadang (dililit di kepala atau bisa juga ditengteng atau ditalitalihon (dililit di pinggang)
5. ULOS RAGI HOTANG / ULOS RAGI HOTANG (Hotang = Rotan).
Ulos inilah yang umumnya lebih banyak diuloshon/dipakaikan/digunakan dalam pesta adapt saat ini. Sangat Anggun saat ulos ini diuloshon / dipakaikan / disandangkan, terlebih kalau jenisnya dari motif yang paling bagus. “POTIR SI NAGOK” menjadi Julukan Ulos Ragihotang yang paling terbaik dan terindah. Ulos ini termasuk Berkelas Tinggi dan Mahal. Cara pembuatannya tidak serumit pembuatan ulos lainnya seperti Ulos Ragidup.
”Hotang binebebe, hotang pinulospulos unang iba mandele, ai godang do tudos-tudos. ”Tumburni pangkat, tu tumbur ni hotang, tu si hamu mangalangka, sai di si mahamu dapotan.
”Hotang hotari, hotang pulogos, gogo ma hamu mansari, asa dao napogos.
”Hotang do bahen hirang, laho mandurung porapora, sai dao ma nian hamu nasirang, alai lam balga ma holong ni roha
”Hotang diparapara, ijuk di parlabian, sai dao ma na sa mara, jala sai ro ma parsaulian.
Ulos ini sering dijadikan menjadi baju, dipake juga untuk Mengafani Jenazah yang meninggal dan juga membungkus tulang belulang dalam acara penguburan ke dua kalinya (mangungkal holi).
6. ULOS SITOLU TUHO (Ulos tiga cabang, Tuho = cabang pohon)
Keistimewaan dari ulos ini terlihat dalam motif gorganya terdapat TOLU (tiga) TUHO (Cabang/Bidang Arsiran).
Ulos ini menggambarkan Simbol kekeraban Orang Batak yaitu Dalihan Na Tolu (di Ulos sering ditulis “ Paratur ni Parhundulon “ ).
Setelah wejangan Dalihan Na Tolu diberikan, harus menyebutkan/mengucapkan “sitolu saihot” yakni :
1. Pasupasu asa sai masihaholongan jala rap saur matua :”Sidangka ni arirang na so tupa sirang, di ginjang ia arirang, di toru iapanggongonan…badan mu na ma na so ra sirang, tondi mu sai masigomgoman “
2. Pasupasu hagabeon :”Bintang na rumiris ombun na sumorop anak pe di hamu riris, boru pe antongtorop”
3. Pasupasu pansamotan :”Bona ni aek puli, di dolok Sitapongan, sai ro ma tu hamu angka na uli,songon i nang pansamotan.
7. ULOS BOLEAN (Bolean = membelai-belai)
Ulos ini diberikan kepada anak yang kehilangan orangtua nya. Membelai-belai, dimaksudkan untuk menghilangkan rasa sedih (Mangapuli) agar hati anak yang sudah kehilangan Orang Tua tabah menghadapinya.
8. ULOS SIBOLANG (Ulos karena Jasa)
Ulos Sibolang disebut juga sibulang yang diberikan untuk memberikan rasa hormat karena jasanya.
Misalkan, Seorang Ulubalang yang mengalahkan musuh, atau yang bisa membinasakan binatang pemangsa yang mengganggu ketentraman Manusia.
Jaman sekarang, ulos ini diberikan kepada Amang ni hela dan ulos ini disebut sebagai “ulos pansamot na sumintahon” supaya Amang ni hela tadi bisa menjadi tempat bersandar dan berlindung.
Perumpamaannya:
“ na gogo mansamot jala parpomparan sibulang bulangan”.
“Marasar sihosari, di tombak ni panggulangan sai halak na gogo ma hamu mansari, jala parpomparan sibulangbulangan.
Ulos sibolang juga sering dipakai untuk menghadiri upacara kematian dan biasanya dililitkan di Kepala yang sudah Janda (Namabalu) saat kondisi suami meninggal atau dillitkan di kepala Suami saat istrinya meninggal
9. ULOS MANGIRING
Sering diberikan sebagai ulos parompa untuk menggendongan anak, dengan harapan anak yang akan memakai parompa ini akan terus dalam iringan orang tuanya, kalau jaman dulu katanya ulos ini sering dihadiahkan kepada dua kekasih ataupun pasangan muda.
Kepada pasangan pengantin, ulos ini diberikan sembari mengucapkan sebait umpasa, “Giringgiring gostagosta, sai tibu ma hamu mangiringiring, huhut mangompa-ompa”
Biasanya Ulos ini dipakaikan dengan cara dijadikan Selendang (Sitalihononton).
10. ULOS MANGIRING PINARSUNGSANG
Ulos ini diberikan kalau ada acara adat yang Masisuharan / Marsungsang = Situasi kacau. Misalkan, ada pihak yang semula adalah hulahula kita, tapi kemudian menjadi pihak boru karena alasan pernikahan. Ulos inilah yang patut diberikan kepada pengantin sembari berucap :
“ Rundut biur ni eme, mambahen tu porngisna, masijaitan andor ni gadong, mambahen tu ramosna “ artinya, biarlah partuturon jadi sedikit kacau kalau itu demi kebaikan. Dan disinilah salah satu letak Kebijaksanaan dan Kemuliaan Adat Batak.
11. ULOS PINUSSAAN
Masih termasuk Ragidup. Cara memakainya pun sama.
12. ULOS SURISURI / ULOS TOGUTOGU / ULOS LOBULOBU
Ini ulos yang eksentrik. Rambu-rambunya tidak dipotong hingga kedua ujungnya bersatu sebagaimana layaknya kain sarung. Dan hanya wanitalah yang memakai ulos ini. Dimaksudkan, agar mereka kelihatan sopan karena ini pakaian rumahan. Jenis ini juga paling banyak dijadikan parompa.
Dinamakan lobulobu supaya segala kebaikan marlobu artinya Hal yang Baik masuk ke rumah orang yang memakainya.
Apabila ada boruboru yang menggendong ibotonya atau adik laki-laki yang kecil, dia akan bersenandung : “Ulos lobulobu, marrambu ho ditongatonga, tibu ma ho ito dolidoli, jala mambahen si las ni roha”
Apabila menggendong adik perempuan, senandungnya adalah : “Ulos lobulobu, marrambu ho ditongatonga, sinok ma modom ho anggi, suman tuboru ni namora”.
Pemakaian Ulos Batak biasanya dilakukan sebagai berikut:
1.Siabithononton (dipakai dibadan) yaitu Ulos Ragidup, Ulos Sibolang, Ulos Ragi Pangko, Runjat, Djobit, Simarindjamisi.
2.Sihadanghononton (dililit di kepala atau bisa juga ditengteng) yaitu Ulos Sirara, Ulos Sadum, Ulos Sumbat, Ulos Bolean, Mangiring, Surisuri.
3.Sitalitalihononton (dililit di pinggang) Yaitu Ulos Tumtuman, Mangiring,Padangrusa.
Tidak tertutup kemungkinan masih ada cara pemakaian Ulos selain cara di atas. Kalau ada kiranya bisa ditambahkan biar sama-sama mengetahuinya. (berbagai sumber febersormin).
Ulos Batak Terancam Punah

“Jumlah penenun yang sebagian besar sudah tua semakin sedikit, sementara regenerasi penenun berjalan lambat karena kurangnya minat di kalangan remaja.Kondisi itu dikhawatirkan mengancam punahnya Ulos Batak yang motifnya masing-masing memiliki arti tersendiri,” kata staf di Dewan Kerajinan Daerah (Dekranasda) Sumut, Delima Pangaribuan, di Medan, Sabtu.
Jumlah penenun dan pembuat motif di Sumut, kata dia, dewasa ini bisa dihitung jari dan itu sangat memprihatinkan,
Melihat kondisi itu, jelas dia, Pemerintah Provinsi Sumut sejak beberapa tahun terakhir ini terus meningkatkan sosialisasi perlunya mempertahankan dan mengembangan tenunan ulos.
“Dekranasda Sumut bahkan mengajak atau merekrut pemuda/pemudi dari daerah untuk diajari menenun dan belajar membuat motif ulos yang sarat dengan makna itu,” katanya.
Warga Sumut khususnya penenun ulos seharusnya merasa bangga, karena sebutan ulos yang selama ini hanya dikenal di “Tanah Batak” kini menjadi sebutan secara umum bagi tenunan di daerah lain.
Bukan hanya diajak belajar bertenun atau membuat motif, tapi remaja Sumut dari berbagai kota/kabupaten diajari untuk belajar pencelupan benang mengingat ulos itu sarat dengan berbagai warna.
Seorang penenun dari Samosir, Sorliwati Sijabat (43) mengakui semakin sedikitnya jumlah penenun termasuk di daerahnya.
“Banyak yang tidak berminat dan kalau-pun ada yang sudah bisa bertenun tapi tidak mau menekuninya dengan alasan pekerjaan itu membosankan dan memilih bekerja di pabrik,” katanya.
Dia mengakui, untuk membuat satu ulos, paling cepat dikerjakan dalam waktu tiga minggu.
“Memang membosankan karena harus duduk lama, tapi kalau dihayati ya enak juga,” kata Sorliwati.
Sorliwati yang hanya lulusan SD itu mengaku belajar menenun ulos tersebut dari orangtuanya. “Kalau ada pesanan, pendapatannya lumayan juga, bisa dapat Rp800 ribu dari satu ulos yang benar-benar bermutu baik,” katanya.
Harga ulos itu sendiri bervariasi, mulai ratusan ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah.
***2***
Sebagian Besar Jenis Ulos Batak Punah
Jumat, 30 November 2007 21:45 WIB | Hiburan | | Dibaca 1901 kali
"Ulos merupakan heritage (warisan) budaya Batak. Kalau ulos ini punah dan tidak ada lagi yang memproduksinya, maka Batak akan kehilangan ulos salah satu warisan dari nenek moyangnya," kata perancang busana nasional, Merdi Sihombing, di Medan, Jumat.
Menurut dia, jenis-jenis ulos yang tak diproduksi itu antara lain jenis ulos Batak yang zaman dulu biasanya digunakan kalangan bangsawan.
"Karena tak ada pengguna dan pasar penjualan ulos bangsawan dan ulos pakaian sehari-hari itu, akibatnya penenun tak lagi memproduksinya," katanya.
Untuk mengetahui keberadaan ulos sebagai warisan Batak, Merdi melakukan survei ulos mulai dari Tapanuli Selatan (Sipirok), Tapanuli Utara (Tarutung, Muara, Meat, Toba Samosir (Panamean, Lagu Boti) dan Samosir (Lumban Suhisuhi, Mogang, Palipi).
"Penenun di daerah-daerah sentra produksi ulos itu saat ini hanya memproduksi ulos yang lazim digunakan untuk acara adat, antara lain sadum, ragi dup, songket Batak, dan ragi bolean. Jenis ulos Batak lainnya tidak mereka tenun lagi karena tidak laku di pasaran," kata Merdi.
Merdi berupaya memproduksi jenis-jenis ulos Batak yang saat ini sudah langka. Ia membantu para penenun di daerah-daerah sentra produksi ulos Batak dengan memberikan bahan tenun dan peralatan yang ramah lingkungan.
"Bahan-bahan seperti benang dan pewarna yang saya berikan tidak mengandung zat kimia berbahaya. Semua bahan benang dan zat pewarna itu alami dari tumbuh-tumbuhan yang tidak membahayakan. Semuanya frendly environmental," kata Merdi.
Hasil tenunan jenis-jenis ulos Batak itu nantinya, kata dia, akan dijadikan bahan fashion.
"Tentu jenis ulos yang akan digunakan untuk fashion akan dipilih. Jenis yang cocok jenis ulos yang pada zaman dulu dipakai untuk sehari-hari, jadi bukan ulos yang disakralkan pada acara-acara adat. Motif dan corak ulos Batak itu tetap, hanya ukuran dan lay-out yang disesuaikan untuk kepentingan fashion," katanya.
Produksi ulos Batak untuk keperluan fashion ini nantinya dapat meningkatkan pendapatan penenun.
"Kalau selama ini harga ulos berkualitas baik hanya Rp300 ribu, nantinya setelah digunakan untuk fashion, harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Saya optimis ulos Batak bisa mewarnai fashion nasional dan internasional, karena tren fashion sekarang ini melirik budaya-budaya negara ketiga (berkembang) dan warisan pakaian tradisional," ujarnya menambahkan. (*)
COPYRIGHT © 2007
Jumat
9
Mei '08
Inovasi Baru Ulos Batak ala Merdi Sihombing
Kain tersebut tidak hanya dipresentasikan sebagai bentuk kain mentah, tetapi berupa rangkaian koleksi busana memikat hasil kerjasama PT South Pasific Viscose dengan desainer Merdi Sihombing. Terlebih Merdi merupakan perancang yang banyak menaruh perhatian pada kain tradisional.
Pertunjukkan busana yang dihadirkan Merdi sebagai puncak acara malam itu bertema “Partonun” yang berarti perempuan penenun dalam bahasa Tapanuli. “Bagi saya, merekalah ujung tombak terciptanya ulos inovasi baru,” sebut Merdi, dalam konferensi pers, sebelum pergelaran bertema 25 Years of Viscose Fibers for A Sustainable Future, di Grand Ballroom Hotel Mulia Senayan, Jakarta, Kamis (8/5/2008).
Adapun untuk mempersiapkan pergelaran tersebut, Merdi mengakui membutuhkan waktu selama dua tahun. Pasalnya, desainer yang sebelumnya menggeluti kain tradisional Banten ini berusaha memberikan tampilan dan karakter baru pada ulos.
Bila selama ini ulos dikenal dengan sifatnya yang kaku dan tebal, di tangan Merdi, kain itu berubah bentuk. Merdi tidak sekedar mengubah komposisi motif tapi juga melakukan revitalisasi ulos, yakni mengganti benang tradisional dengan benang baru yang lebih lembut. Bahkan untuk memaksimalkan tampilan, ia melakukan diversifikasi alat tenun.
“Saya memperlebar alat tenun tradisional menjadi sepanjang 1 meter sehingga kain yang dihasilkan tidak perlu lagi memakai sambungan di bagian tengah,” terangnya.
Pergelaran yang disuguhkan Merdi malam itu pun luar biasa. Rangkaian koleksinya terdiri dari 65 outfit yang dibagi dalam 5 babak. Pertama, Merdi menampilkan “Gorga”, yakni seri rancangan tiga warna yang merupakan warna budaya masyarakat Batak.
“Di babak pertama saya menampilkan tiga warna yakni putih yang melambangkan dunia atas, merah untuk dunia tengah, dan hitam untuk dunia bawah,” jelasnya. Sementara motif yang digunakan diambil Merdi dari corak naif dan primitif yang terdapat pada pusaka Batak, juga motif ukir dan lukis pada ornamen rumah besar, yang di Jawa dikenal dengan sebutan ulir-ulir.
Selanjutnya, nuansa kulit kayu menguasai panggung. Seri kedua rancangan Merdi ini menampilkan
Memasuki babak ketiga, Merdi mengubah suasana pertunjukkan dengan menyajikan barisan koleksi bertema “Parsanggul Na Ganjang”. Tema yang berarti sanggul nan tinggi itu terinspirasi dari kostum tradisional penari upacara adat yang selalu tampil bersanggul tinggi lengkap dengan umbul-umbul hiasan kepala yang terbuat dari bulu ayam. Koleksi ini tampil dalam
Fungsi tradisional kain ulos dan songket Batak juga tidak lupa ditampilkan Merdi dalam segmen “Ulos Baru dan Kebaya”. Koleksi ini, ungkap Merdi, merupakan puncak kreasinya dimana dia menampilkan 20 rancangan yang menggunakan kain dan selendang ulos inovasi baru.
“Koleksi tersebut ditenun dengan menggunakan benang viskos, Lenzing Modal dan Tencel. Benang-benang itu kemudian dicampur dengan benang katun dan sutra dan diwarnai dengan pewarnaan alam sehingga menghasilkan perubahan ulos secara total,” jelas Merdi. Perubahan tersebut terlihat pada warna kain yang baru, lebih terang dan variatif, serta kelembutan ulos itu sendiri.
Bukan hanya rancangan bagi para wanita saja, Merdi juga menghadirkan koleksi yang diperuntukkan bagi kaum adam berupa jas ulos. Rancangan tersebut bertujuan memperlihatkan pemakaian ulos yang telah disesuaikan dengan
Hadirnya inovasi baru pada tekstil tradisional, seperti yang dilakukan Merdi dan PT South Pasific Viscose merupakan usaha untuk melestarikan budaya, mengangkat kerajinan tradisional untuk gaya hidup urban sekaligus membantu pengrajin lokal secara ekonomi.
Sumber : (Nsa Lesthia K/Sindo/tty) Okezone
Ada 4 tanggapan untuk artikel “Inovasi Baru Ulos Batak ala Merdi Sihombing”
Innovasi baru ulos Batak ala Merdi memang merupakan terobosan baru untuk ikut melestarikan salah satu komponen budaya Batak, akan tetapi sebaiknya Merdi memang harus berkonsentrasi kepada bahan atau motif ulos untuk penggunaannya sebagai pakaian jadi karena kalau untuk kebutuhan sebagai perangkat adat sebaiknya biarkan saja ‘parhasussak’ yang mengelolanya karena jumlah produk yang tersedia selalu tercukupi. Kasihan mereka harus digilas oleh ATM (Alat Tenun Mesin), setelah gencar dihabisi oleh pembakaran ulos oleh yang mengaku mahluk surga, dan perlu juga dicermati jangan-jangan bung Merdi nantinya diterror pula oleh mereka itu.
- Tanggapan midian sihombing:
Pada tanggal 15 Juni 2008 jam 10:44 pm
tu lae hutahuruk
mauliate utk responnya
proyek pengembangan ulos sdh sgt perlu dilakukan karena ulos sdh bnyak yg menyimpang dari pakemnya.dan tanggapan dari org2 banyak terhadap tampilannya yg tebal,kaku dan berjamur jika tdk diberi extra perawatan.tenang aja lae…bentar lagi ulos akan kita buat bukan aja jadi bahan pakain bahkan jadi interior.kita sekolah aja gak langsung kelas 3 mesti kelas 1 dulu.
proyek pengembangan ulos sdh sgt perlu dilakukan karena ulos sdh bnyak yg menyimpang dari pakemnya.dan tanggapan dari org2 banyak terhadap tampilannya yg tebal,kaku dan berjamur jika tdk diberi extra perawatan.tenang aja lae…bentar lagi ulos akan kita buat bukan aja jadi bahan pakain bahkan jadi interior.kita sekolah aja gak langsung kelas 3 mesti kelas 1 dulu.
Karya indah Merdi Sihombing, ulos yang lembut, ulos yang fashion boleh dilihat di Photo Gallery Ini.
- Tanggapan midian sihombing:
Pada tanggal 17 Juni 2008 jam 12:39 am
aje gile…keren abizzzz,utangku mkin banyak aja tu hamu laeku,mau dong foto2nya…????
tu lae maridup hutauruk…ulos & songket yg kubuat tidak ada yg menggunakan mesin atw parhausuksak.semua msih mggu
nakan gedogan.justru sekarang inilah saatnya utk membuat mereka2 yg mmbakar ulos bisa jadi sadar dgn apa yg slama ini menjadi kesalahan yg fatal.nantikan my next project ulos & songket Batak “HERITAGE,SCIENCE & TECHNOLOGY”.
Dunia akan lebih terperangah kpd Bangso BATAK…..HORAS
nakan gedogan.justru sekarang inilah saatnya utk membuat mereka2 yg mmbakar ulos bisa jadi sadar dgn apa yg slama ini menjadi kesalahan yg fatal.nantikan my next project ulos & songket Batak “HERITAGE,SCIENCE & TECHNOLOGY”.
Dunia akan lebih terperangah kpd Bangso BATAK…..HORAS
Ulos merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Batak dan merupakan identitas budaya Batak. Ulos mengandung arti dan makna dalam setiap pelaksanaan adat Batak. Dan setiap jenis Ulos harus diberikan kepada yang berhak menerimanya. Ulos adalah media ekspresi budaya yang pembuatannya juga harus memiliki keterampilan tertentu. Dewasa ini, Ulos tidak lagi sekedar media budaya, tetapi juga sudah merupakan bagian dari industri yang berdampak terhadap perekonomian orang Batak.